Pengamat Politik dari Lembaga Survei Indonesia (LSI), Adji Alfaraby menganggap pembatasan usia Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam usulan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 sebagai pernyataan 'perang' dari DPR. Menurutnya, usulan itu justru membuktikan anggota dewan memiliki kekuasaan lebih.
Sehingga jika ada instansi yang macam-macam, maka DPR bisa mengkerdilkannya dengan berbagai cara.
"Di luar ini sebetulnya ada 'psy war' dari DPR ke KPK, karena mereka punya kekuasaan membuat UU. Jadi kalau KPK macam-macam, maka DPR bisa mengkerdilkannya dengan berbagai cara," kata Adji ketika dihubungi merdeka.com, Selasa (6/10).
Adji menambahkan, pembatasan usia KPK hanya selama 12 tahun kurang tepat. Dia menilai, seharusnya DPR lebih mementingkan mengenai indikator pengukuran objek yang lebih real, seperti indeks korupsi yang dilakukan oleh KPK.
"Indeks korupsi ini dibuat untuk mengetahui target-target yang harus dilakukan oleh KPK. Dalam kurun waktu tertentu bisa terlihat apakah KPK sudah menyelesaikan tugasnya dengan baik, sehingga bisa diputuskan apakah KPK masih diperlukan lagi atau tidak," imbuhnya.
Meski begitu, Adji menilai pembatasan usia ini ada sisi positifnya, yaitu KPK memiliki target kerja. "Tapi memang kita harus melihat kedepan mengenai UU ini apakah pembatasan ini diikuti dengan blue print kerja KPK. Sehingga ini bisa menjadi evaluasi. Akan tetapi juga harus ada ukuran standar dari pembuat UU apa yang menjadi indikator jika KPK dibubarkan," tandasnya.
Seperti diketahui, sejumlah fraksi di DPR tetap ngotot melakukan pembahasan usulan revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam salinan draf yang diperoleh awak media, dalam pasal 5 tertulis tercantum tentang masa berlaku KPK.
"Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk untuk masa waktu 12 tahun sejak undang-undang ini diundangkan," tulis pasal tersebut dikutip merdeka.com, Selasa (6/10).
Baleg DPR sore ini melakukan rapat membahas usulan revisi UU KPK. Walaupun diketahui, Presiden Joko Widodo telah menolak dengan tegas UU KPK direvisi.
"Yang mengusulkan PDIP, PKB, NasDem, Hanura, Golkar, PPP," kata Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Sareh Wiyono di ruang rapat Baleg, Selasa (6/10).
Sehingga jika ada instansi yang macam-macam, maka DPR bisa mengkerdilkannya dengan berbagai cara.
"Di luar ini sebetulnya ada 'psy war' dari DPR ke KPK, karena mereka punya kekuasaan membuat UU. Jadi kalau KPK macam-macam, maka DPR bisa mengkerdilkannya dengan berbagai cara," kata Adji ketika dihubungi merdeka.com, Selasa (6/10).
Adji menambahkan, pembatasan usia KPK hanya selama 12 tahun kurang tepat. Dia menilai, seharusnya DPR lebih mementingkan mengenai indikator pengukuran objek yang lebih real, seperti indeks korupsi yang dilakukan oleh KPK.
"Indeks korupsi ini dibuat untuk mengetahui target-target yang harus dilakukan oleh KPK. Dalam kurun waktu tertentu bisa terlihat apakah KPK sudah menyelesaikan tugasnya dengan baik, sehingga bisa diputuskan apakah KPK masih diperlukan lagi atau tidak," imbuhnya.
Meski begitu, Adji menilai pembatasan usia ini ada sisi positifnya, yaitu KPK memiliki target kerja. "Tapi memang kita harus melihat kedepan mengenai UU ini apakah pembatasan ini diikuti dengan blue print kerja KPK. Sehingga ini bisa menjadi evaluasi. Akan tetapi juga harus ada ukuran standar dari pembuat UU apa yang menjadi indikator jika KPK dibubarkan," tandasnya.
Seperti diketahui, sejumlah fraksi di DPR tetap ngotot melakukan pembahasan usulan revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam salinan draf yang diperoleh awak media, dalam pasal 5 tertulis tercantum tentang masa berlaku KPK.
"Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk untuk masa waktu 12 tahun sejak undang-undang ini diundangkan," tulis pasal tersebut dikutip merdeka.com, Selasa (6/10).
Baleg DPR sore ini melakukan rapat membahas usulan revisi UU KPK. Walaupun diketahui, Presiden Joko Widodo telah menolak dengan tegas UU KPK direvisi.
"Yang mengusulkan PDIP, PKB, NasDem, Hanura, Golkar, PPP," kata Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Sareh Wiyono di ruang rapat Baleg, Selasa (6/10).
[Mdk/eko]
Posting Komentar