JAKARTA - Pemerintah telah memutuskan untuk
menaikan 23 persen target pendapatan cukai dari tahun lalu, menjadi
sebesar Rp148,9 persen. Kenaikan target pendapatan cukai tersebut tentu
membebani seluruh pelaku industri rokok, termasuk industri rokok kretek
berskala rumahan yang jumlahnya cukup besar.
Sekertaris Jendral Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia
(Gappri), Hasan Aomi Aziz, memandang langkah kebijakan yang diambil
pemerintah tersebut tidak berpihak kepada industri rumahan rokok kretek.
Padahal, jumlah pelaku industri rumahan rokok kretek terbilang paling
besar dari seluruh jenis industri kecil menengah.
"Di tengah situasi ekonomi yang menurun membuat penerimaan target pajak gagal, maka cukai rokok jadi andalan. Untuk naikan itu pemerintah menggandeng Kemenkes dan WHO untuk mencari alasan dari sektor kesehatan, sehingga terkesan dasarnya kuat untuk naikan cukai. Negara tidak peduli industri rokok kretek ini," tutur Hasan kepada Okezone di Jakarta, Jumat (4/9/2015).
Menurutnya, perusahaan produsen rokok berskala besar tidak akan begitu berdampak terhadap cukai tersebut. Pasalnya, kebanyakan pabrik rokok besar atau sigaret kretek mesin (SKM) sudah melakukan efisiensi dengan mengganti tenaga manusia dengan mesin.
"Padahal semenjak beberapa tahun lalu industri rokok SKM terus meningkat. Tapi sejalan dengan itu SKT (sigaret kretek tangan) atau tanpa filter terus menurun jumlahnya. Apalagi dinaikkan cukainya," imbuhnya.
Menurutnya dengan dinaikkan cukai, otomatis pelaku industri rokok kretek rumahan harus menaikan harga jual. Dengan begitu selisih harga rokok pabrik besar dengan rokok kretek didaerah akan semakin sedikit. Otomatis daya saing rokok kretek daerah akan menurun meskipun di wilayah pangsa pasarnya di daerah.
"Pemerintah itu enggak peduli dengan industri kretek rumahan. Mereka yang terpenting target cukai tercapai meskipun hanya dari pabrik rokok besar. Jadi enggak peduli dengan heritage dan nilai-nilai yang bisa menyerap banyak tenaga kerja lokal," pungkasnya.
"Di tengah situasi ekonomi yang menurun membuat penerimaan target pajak gagal, maka cukai rokok jadi andalan. Untuk naikan itu pemerintah menggandeng Kemenkes dan WHO untuk mencari alasan dari sektor kesehatan, sehingga terkesan dasarnya kuat untuk naikan cukai. Negara tidak peduli industri rokok kretek ini," tutur Hasan kepada Okezone di Jakarta, Jumat (4/9/2015).
Menurutnya, perusahaan produsen rokok berskala besar tidak akan begitu berdampak terhadap cukai tersebut. Pasalnya, kebanyakan pabrik rokok besar atau sigaret kretek mesin (SKM) sudah melakukan efisiensi dengan mengganti tenaga manusia dengan mesin.
"Padahal semenjak beberapa tahun lalu industri rokok SKM terus meningkat. Tapi sejalan dengan itu SKT (sigaret kretek tangan) atau tanpa filter terus menurun jumlahnya. Apalagi dinaikkan cukainya," imbuhnya.
Menurutnya dengan dinaikkan cukai, otomatis pelaku industri rokok kretek rumahan harus menaikan harga jual. Dengan begitu selisih harga rokok pabrik besar dengan rokok kretek didaerah akan semakin sedikit. Otomatis daya saing rokok kretek daerah akan menurun meskipun di wilayah pangsa pasarnya di daerah.
"Pemerintah itu enggak peduli dengan industri kretek rumahan. Mereka yang terpenting target cukai tercapai meskipun hanya dari pabrik rokok besar. Jadi enggak peduli dengan heritage dan nilai-nilai yang bisa menyerap banyak tenaga kerja lokal," pungkasnya.
Posting Komentar