Desa Kamanggih di Sumba Timur, NTT, kampung terpencil yang berada di tengah savana, sekarang bisa menikmati listrik berkat kincir angin yang dipasang di perkampungan ini sejak 2013.

Tak mengherankan jika kehadiran puluhan unit kincir angin, -biasa disebut 'Penari Langit'- disambut gembira oleh warga di desa.

"Warga bersyukur dengan listrik ini. 

Memang sempat ada listrik dari tenaga air beberapa tahun lalu, tapi jaraknya dengan rumah-rumah warga jauh, yang membuat ongkos untuk mendapatkan listrik menjadi mahal," kata Petrus Lamba Awang, penanggung jawab operasional kincir angin kepada BBC Indonesia.


Ia mengungkapkan berdasarkan survei yang dilakukan pada 2012 disimpulkan bahwa ada potensi angin di wilayah ini yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi.

"Setelah itu diajukan proposal pengerjaan ... dan kemudian dipasang unit-unit kincir angin yang letaknya tak jauh dari permukiman warga," kata Petrus Lamba Awang.
Sumber dana antara lain didapatkan dari satu badan usaha milik negara melalui program corporate social responsibility (tanggung jawab sosial perusahaan).

Sementara untuk desain dan teknologi, warga mendapatkan bantuan dari ilmuwan Indonesia di Jepang.
Dari sini dikembangkan koperasi simpan pinjam sebagai pengganti bank, memanfaatkan angin sebagai sumber energi, yang dinamai Pembangkit Listrik Tenaga Angin Skala Mikro (PLTASM).

"Dari 20 kincir yang ada, sebenarnya bisa menerangi 50 rumah, tapi di kampung ini cuma ada 22 rumah," katanya.
Petrus Lamba Awang berharap model ala Desa Kamanggih ini bisa dicontoh daerah-daerah lain di Indonesia yang belum terjangkau PLN.
Praktisi energi terbarukan di Inggris, Abram Perdana, mengatakan dari sisi potensi, sebenarnya banyak wilayah di Indonesia yang bisa dikembangkan PLTASM maupun skala medium atau besar.

Kendalanya sejauh ini adalah minimnya informasi tentang survei, yang memang tak bisa diselesaikan dalam waktu singkat.
"Survei ini penting karena dengan begitu investor yang tertarik bisa lebih mudah masuk," katanya.

(Bbc/sw)

Posting Komentar

 
Top