JAKARTA - Benda-benda antariksa yang bertebaran di
angkasa begitu banyak jumlahnya. Umumnya, benda-benda tersebut terdiri
dari sampah antariksa seperti satelit atau benda alami semacam asteroid atau lainnya. Apabila hendak jatuh, bisakah diantisipasi dengan sistem peringatan dini?
Mengutip situs Real Time Space Debris Surveillance milik Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), pihaknya terus memantau mengenai keberadaan benda langit yang jatuh ke Bumi secara real time untuk memantau untuk benda antariksa (sampah antariksa) semacam satelit, roket, dan lainnya di angkasa. Ini dilakukan sehingga upaya antisipasi masih bisa dilakukan.
Hanya saja, akurasi prakiraan titik jatuh secara internasional belum bisa dilakukan. Akan tetapi, sehari sebelum benda jatuh sudah dapat diperkirakan apakah suatu daerah geografis (misalnya Indonesia) aman dari kejatuhan sampah antariksa atau tidak.
Akan tetapi, prediksi waktu dan lokasi jatuh yang diberikan di situs Lapan hanya waktu dan lokasi jatuh hingga ketinggian sekitar 120 km (benda mengalami atmospheric reentry).
Bukan waktu dan lokasi jatuh benda (atau biasanya serpihannya) di permukaan Bumi, sebab berdasarkan keterangan dari situs tersebut, sangat sulit memperkirakan kapan dan di mana serpihan sampah antariksa akan menghantam permukaan Bumi.
Meteor
Jika pantauan terhadap benda antariksa semacam satelit dan lainnya secara umumnya tak terlalu sulit dilakukan, lantas bagaimana dengan benda alami seperti asteroid, komet, meteor dan lainnya?
Dituliskan dalam keterangan di situs resmi Lapan, meteorit pun secara umum mungkin dipantau dan diantisipasi, tetapi sangat sulit dilakukan termasuk oleh negara maju. Mengapa?
Pertama, untuk memantau benda langit semacam meteor memerlukan teleskop yang mampu mendeteksi objek sangat redup yang bergerak sangat cepat (dengan kecepatan sekira 100 ribu km/jam).
Kedua, teleskop harus terintegrasi dengan sistem pengolah data cepat yang dilengkapi model orbit asteroid dan trayektorinya. Terakhir, perlu memperhitungkan efektivitas dan efisiensi karena jangka waktu deteksi dan kejatuhan di Bumi sangat singkat untuk objek relatif kecil.
Mengutip situs Real Time Space Debris Surveillance milik Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), pihaknya terus memantau mengenai keberadaan benda langit yang jatuh ke Bumi secara real time untuk memantau untuk benda antariksa (sampah antariksa) semacam satelit, roket, dan lainnya di angkasa. Ini dilakukan sehingga upaya antisipasi masih bisa dilakukan.
Hanya saja, akurasi prakiraan titik jatuh secara internasional belum bisa dilakukan. Akan tetapi, sehari sebelum benda jatuh sudah dapat diperkirakan apakah suatu daerah geografis (misalnya Indonesia) aman dari kejatuhan sampah antariksa atau tidak.
Akan tetapi, prediksi waktu dan lokasi jatuh yang diberikan di situs Lapan hanya waktu dan lokasi jatuh hingga ketinggian sekitar 120 km (benda mengalami atmospheric reentry).
Bukan waktu dan lokasi jatuh benda (atau biasanya serpihannya) di permukaan Bumi, sebab berdasarkan keterangan dari situs tersebut, sangat sulit memperkirakan kapan dan di mana serpihan sampah antariksa akan menghantam permukaan Bumi.
Meteor
Jika pantauan terhadap benda antariksa semacam satelit dan lainnya secara umumnya tak terlalu sulit dilakukan, lantas bagaimana dengan benda alami seperti asteroid, komet, meteor dan lainnya?
Dituliskan dalam keterangan di situs resmi Lapan, meteorit pun secara umum mungkin dipantau dan diantisipasi, tetapi sangat sulit dilakukan termasuk oleh negara maju. Mengapa?
Pertama, untuk memantau benda langit semacam meteor memerlukan teleskop yang mampu mendeteksi objek sangat redup yang bergerak sangat cepat (dengan kecepatan sekira 100 ribu km/jam).
Kedua, teleskop harus terintegrasi dengan sistem pengolah data cepat yang dilengkapi model orbit asteroid dan trayektorinya. Terakhir, perlu memperhitungkan efektivitas dan efisiensi karena jangka waktu deteksi dan kejatuhan di Bumi sangat singkat untuk objek relatif kecil.
Posting Komentar