Merdeka.com - Pepatah "tidak makan nangka kena getahnya" untuk menggambarkan kerepotan Pemerintah dalam merespon dan berbuat untuk menangani nasib pengungsi muslim Rohingya yang terombang ambing di lepas pantai Indonesia rasanya tidak tepat karena tidak pesta dan makan di sana. Yang ada karena persekusi dan sikap rasialis di Myanmar terhadap etnis Rohingya yang akibatnya harus ikut ditanggung oleh Indonesia, Malaysia, Thailand dan lainnya.

Meski patut dipuji langkah sigap Pemerintah untuk segera mengkomunikasikan masalah ini ke tiga arah yaitu dengan Myanmar, bicara dengan Malaysia dan Thailand serta memberikan bantuan kemanusiaan sementara sembari menunggu proses klarifikasi status pengungsi, namun respon ini sesaat sempat diwarnai oleh kebijakan yang tidak koheren karena adanya perbedaan pandangan dari TNI untuk sama sekali tidak menerima aliran masuk pengungsi.

Namun pada akhirnya, dari pertemuan Malaysia, Indonesia dan Thailand di Kuala Lumpur Rabu lalu (20/5), telah muncul kabar baik bahwa Indonesia dan Malaysia bersiap membangun pemukiman sementara bagi para imigran gelap yang terkatung selama berbulan-bulan di lautan itu dan akan menjamin nasib lebih dari 7.000 orang yang kini ada di sekitar Selat Malaka. Indonesia tercatat telah menampung 1.346 orang di Aceh Utara sejak pekan lalu.

Dengan garis tebal saya ingin menggarisbawahi pernyataan Menlu Retno LP Marsudi bahwa pertama respon pemerintah adalah dengan mencari apa akar masalah kekisruhan ini. Diakui atau tidak, karena sensitivitas dan budaya berperilaku dalam ASEAN dan kepentingan Barat, pengungkapan akar masalah ini selama ini tidak secara tegas dilakukan oleh pemerintah negara-negara yang terpaksa harus menghadapi isu pengungsi Rohingya.

Bicara akar masalah, dunia lebih dahulu perlu melihat bahwa pengungsi Rohingya adalah korban kebencian dan prasangka. Holocaust Memorial Museum di AS awal Mei 2015 telah mengeluarkan laporan berjudul They Want Us All to Go Away : Early Warning Signs of Genocide in Burma bahwa Rohingya selalu menerima ungkapan kebencian, kekerasan fisik, segregasi, kondisi hidup yang menyedihkan, pembatasan gerak, perampasan lahan, kekerasan seksual, penahanan sewenang-wenang, pembatasan hak memberikan suara dalam pemilu, pencabutan kewarganegaraan, pemerasan dan pelanggaran HAM lainnya.

Perlu saya kutip juga pernyataan U Than Tun, pejabat Emergency Coordination Center di Sittwe, Myanmar dari CNN.com (12/11/2014) bahwa Rohingya tidak ada, dan tidak pernah ada. Mereka adalah imigran ilegal dari Bangladesh dan kami ingin mengusirnya dari tanah kami. Tidak usah ditanyakan bagaimana sikap pemenang Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi atas hilangnya kedamaian bagi kaum Rohingya, karena dia memang hanya diam dan tak pernah bersikap.

Dalam batas tertentu, Barat juga diam tak pernah lantang mengecam pemerintah Myanmar atas pelanggaran HAM terhadap etnis Rohingya. Dr. Maung Zarni dari London School of Economics (2013), pernah menyatakan bahwa diamnya Barat adalah karena memang sedang berusaha amat keras memajukan kepentingan strategis dan ekonomis mereka sendiri dan karenanya mereka menonjolkan narasi bahwa Myanmar adalah negara dalam transisi demokrasi yang perlu didukung.

Dengan akar masalah seperti itu kunci penyelesaian masalah ada di Myanmar sendiri. Persoalannya bagaimana membuat Myanmar mau atau mampu membuat perubahan sikap dan kebijakan untuk menghilangkan prasangka, kebencian dan kekerasan yang nampaknya direstui ini?

Upaya negara-negara terdampak untuk meregionalisasikan persoalan ini sebenarnya hanya akan berujung pada solusi permukaan bila Myanmar sendiri cuek. Seperti memberi obat batuk pada penderita kanker paru-paru. Tapi obat batuk itu pun bukan hal yang patut diremehkan karena itu wujud komitmen pada kemanusiaan.

Indonesia patut dipuji karena mengadopsi prinsip non-refoulement meski Indonesia bukan penandatangan Konvensi Internasional mengenai Status Pengungsi tahun 1951. Dengan prinsip ini Indonesia tak akan mengembalikan korban penindasan ke negara asal atau mengusir ke negara lain yang bisa membuat kebebasan atau hidupnya terenggut. Tapi ini, terus terang; sayangnya masih obat batuk.


(merdeka.com)

Posting Komentar

 
Top