JAKARTA - Wakil Presiden Indonesia, Jusuf Kalla (JK) kerap berbeda sikap dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Teranyar, keduanya berbeda soal revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Jika Jokowi menolak, JK malah menunjukkan persetujuannya tentang revisi terhadap Undang-Undang lembaga antirasuah tersebut.

Psikolog politik Universitas Indonesia (UI) Dewi Haroen menilai, sikap berbeda bukanlah hal yang mengherankan untuk seorang JK. Pasalnya, hal itu sudah muncul sejak dirinya menjadi wakil dari Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

"Jadi, benar bahwa ada dugaan potensi 'matahari kembar' dan terbukti sudah tiga kali. Terus terang ini runtuhkan wibawa Jokowi," ungkap Dewi kepada Okezone, di Jakarta, Rabu (24/6/2015) malam.

Perbedaan yang terus muncul adalah buah dari karakter JK yang ambisius dan ingin menyetir kebijakan pemerintah. Padahal, seorang wapres harusnya bisa membuat keputusan yang sejalan dengan atasannya.

"Apapun isinya (perbedaan pandangan-red), bukan benar atau salah tapi balik lagi harus komunikasi ke Presiden sebelum bicara ke umum. Jangan suka cari panggung, cari muka, enggak benar secara tata negara. Akhirnya orang tahu JK selalu ingin cari panggung," sindir Dewi.

Lanjut Dewi, 'lawan' Jokowi bukan hanya Megawati tapi juga JK. Keduanya dianggap bisa memengaruhi keputusan-keputusan yang harusnya murni diputuskan oleh Jokowi.

"Bisa ngerti kenapa Jokowi akhirnya menempatkan Luhut di kantor Presiden dengan posisi lebih tinggi, ibaratnya bikin 'wapres tandingan', karena enggak bisa kendalikan JK," tuntasnya.



Berikut ini empat perbedaan pandangan antara Jokowi-JK yang dihimpun Okezone:

1. Perampingan Kabinet
Jokowi menawarkan perampingan kabinet agar tidak terjadi tumpang-tindih kewenangan antar-kementerian. Jokowi mengatakan perampingan yang dimaksud tidak selalu mengurangi jumlah menteri. Namun, ujar dia, bisa mengurangi jumlah eselon di sejumlah kementerian.
Sedangkan JK berpandangan sebaliknya. Perampingan kabinet justru akan menguras banyak energi. Kalla menganggap jumlah 34 menteri untuk mengurus 250 juta rakyat Indonesia sudah cukup ramping.

2. Lelang Menteri
Jokowi hendak menggunakan sistem yang sama ketika menjabat Gubernur DKI Jakarta, yaitu lelang jabatan. Jokowi, yang kala itu belum dilantik sebagai presiden, ingin menyeleksi dan melelang menteri yang bakal menjadi pembantunya.
Sebaliknya, JK menuturkan lelang jabatan tak bisa dipakai untuk mengisi posisi menteri. JK beralasan, jabatan menteri sangat penting sehingga sebaiknya dipilih langsung oleh presiden bukan melalui lelang.

3.Penunjukan Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri
Jokowi menyatakan akan membatalkan pencalonan Budi Gunawan sebagai Kepala Polri. Pernyataan itu disampaikan Ketua Tim Sembilan Syafii Maarif. Dia mengaku ditelefon langsung oleh Jokowi terkait dengan pembatalan ini.
Sebaliknya, JK justru menuturkan jadi atau tidaknya Budi Gunawan dilantik bergantung pada putusan praperadilan. Kalla juga mengatakan akan melantik Budi Gunawan jika menduduki jabatan sebagai presiden.

4.Pembentukan Kantor Staf Kepresidenan
Jokowi membentuk Kantor Staf Kepresidenan. Kantor ini dipimpin langsung kawan lama Jokowi, Luhut Binsar Panjaitan. Namun, JK menyatakan tidak tahu adanya pelantikan Luhut untuk duduk di posisi tersebut. (Okezone.com)

Posting Komentar

 
Top