JAKARTA - Berbisnis properti memang nampak menggiurkan, lantaran harga jual properti yang cenderung stabil bahkan kerap meningkat setiap tahunnya. Meski demikian, jika Anda salah melangkah dalam bisnis properti, maka bisa jadi Anda malah buntung.
Richard Eddy dalam tulisannya, yang dikutip dari buku "Kaya Raya dengan Bisnis Properti" karya Evita Purnamasari, menjabarkan beberapa permasalahan yang sering terjadi dalam bisnis properti.
Pertama, adalah hak pakai dapat dijadikan utang. Eddy, menjelaskan dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dinyatakan hak pakai dapat dijadikan jaminan utang namun dalam UU Rumah Susun tidak diperbolehkan. Lalu, apakah UU Rumah Susun tidak bertentangan dengan UUPA?
"Jawabannya tidak bertentangan, karena dalam UUPA yang ditunjuk sebagai hak atas tanah dan dapat dijadikan utang adalah hak milik dan hak guna bangunan,sebagai hak atas tanah yang wajib didaftar dan menuntut sifatnya dipindahtangankan," jelas Eddy, seperti dikutip Okezone.
Permasalahan kedua, rumah susun atau apartemen dengan hak pengelolaan. Eddy memberikan contoh, Pak Anwar ingin membeli sebuah apartemen dengan alasan apartemen tersebut memiliki harga yang tidak terlalu mahal. Tapi ketika bertanya pada pengembang mengenai status hak tanah, pengembang mengatakan bahwa apartemen itu dibangun dengan Hak Guna Bangunan (HGB) di atas tanah pengelola.
"Ini kan menjadi masalah, karena HGB di atas tanah pengelolaan dengan apartemen memiliki perbedaan antara HGB di atas tanah hak milik, HGB, atau hak pakai. Itu ada perbedaannya. Jika tidak dipahami akan menimbulkan permasalahan. HGB di atas dengan tanah hak milik tentu lebih mahal harganya dibandingkan HGB dengan hak tanah dimiliki pengembang," ujarnya.
Selain itu, Eddy mengatakan masalah ketiga dalam dunia properti adalah konflik antara pihak yang terlibat dan pengelolaan rumah susun atau apartemen. Menurutnya, ada tiga potensi konflik dalam permasalahan tersebut yaitu, konflik antara pengembang dengan konsumen, pengembang dan perhimpunan penghuni dan penghuni dengan penghuni.
"Contoh misalnya konflik pengembang dengan penghuni itu macam-macam. Misalnya keterlambatan serah terima unit rumah. Perbedaan luas antara unit satu dengan yang lain. Mutu bangunan yang tidak sesuai brosur juga bisa jadi menimbulkan konflik," tuturnya.
Sedangkan untuk konflik antara pengembang dan perhimpunan penghuni, penghuni dengan penghuni, disebabkan salah satunya oleh beralihnya tanggung jawab mengenai pembiayaan pengelolaan rumah dari penyelenggara pembangunan kepada perhimpunan penghuni, kurangnya pengetahuan mengenai status badan hukum perhimpunan penghuni, hingga rasa kepedulian dan partisipasi anggota perhimpunan penghuni.
"Hal ini yang menjadi penyebab permasalahan di bidang properti di mana terjadi konflik yang terjadi," tuturnya.
(Okz/mrt)

Posting Komentar

 
Top