ANGERANG - "RI Satu silakan maju ke depan," ujar pemandu acara memanggil dengan intonasi suara dan artikulasi jelas. Lelaki paruh baya berpeci miring dan berbaju koko pun beranjak dari tempat duduknya.

Dia berjalan perlahan menuju panggung acara. Dengan sikap malu-malu, lelaki sepuh berusia 78 tahun itu diperkenalkan oleh pemandu acara sebagai "RI Satu". Sontak para tamu undangan dan penduduk Desa Tanjung Anom, Kecamatan Mauk, Kabupaten Tangerang, bertepuk tangan riuh.

Sebutan "RI Satu" diberikan kepada penerima bantuan rumah instan sederhana sehat perdana hasil pengembangan PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk atau RISHA-Indocement (RI), Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemukiman Kementerian Pekerjaan Umum dan perumahan Rakyat (PUPR) dan Habitat for Humanity. Sementara penerima kedua, ketiga, dan seterusnya hingga mencapai 11 kepala keluarga dijuluki RI 2-RI 11.

Siapa "RI Satu" ini? Dialah Sarmin. Mengenal lebih dekat Sarmin, sama halnya dengan menyelami makna perjalanan panjang dan perjuangan hidup. Kerutan kasar yang menyapu paras, dan kulit legamnya adalah gambaran sempurna dari perjalanan panjang dan perjuangan hidup itu.



Sarmin yang beristri Unah adalah warga penerima bantuan RI. Sebelumnya, rumah sejoli ini dinilai relawan Habitat for Humanity sebagai tidak layak huni. Dindingnya terbuat dari bilik (anyaman bambu) yang sudah lapuk dan bolong di sana sini. Sarmin dan Unah menutupi bolong tersebut dengan kain bekas spanduk produk perumahan dan juga poster-poster para kandidat wakil rakyat.

Lantainya pun masih beralas tanah kasar dengan permukaan tidak rata. Demikian halnya dengan dapur yang hitam penuh jelaga, hanya disekat oleh kain lusuh sebagai pembatasnya. Sementara fasilitas sanitasi dan untuk keperluan mandi cuci kakus (MCK), pasangan ini memanfaatkan toilet mushola dekat rumah.

Setiap malam, Sarmin dan Unah bercengkerama dalam gelap sebelum menjemput lelap. Aliran listrik sudah lama tidak mampir ke rumah yang mereka sebut "gubuk reyot" ini. 

"Kalau hujan, kita repot. Genteng pada bocor. Terpaksa ditutup pake plastik. Semalam hujan, emak dan bapak enggak bisa tidur," cerita Unah kepada Kompas.com, usai pose bareng beserta penerima RI lainnya, Selasa (22/9/2015).

Penderitaan tidak berhenti sampai di situ. Bunyi berderit dari perut-perut kosong adalah alunan nada yang menemani mereka menghabiskan malam. Itulah keseharian pasangan setia yang sudah hidup bersama selama lebih dari separuh abad ini.

Namun, Sarmin dan Unah bukanlah manusia-manusia manja yang hidup hanya menadah belas kasih. Keduanya adalah pekerja keras dan juga sangat tahu cara menyukuri nikmat serta berterima kasih kepada Tuhannya.

Sarmin berkisah, pagi-pagi sekali usai shalat subuh, dia dan istrinya pergi ke Taman Pemakaman Umum (TPU) Tanjung Anom. Keduanya membersihkan makam dari rerumputan liar dan daun-daun berguguran, membuang sampah, dan mengelap batu-batu nisan agar kembali mengilap.

Mereka tak mengantongi uang, melainkan sembako sebagai upah yang diberikan ahli waris yang keluarganya dimakamkan di TPU tersebut. Itu pun tak mereka terima setiap hari.



Sebelum Dzuhur, keduanya kembali ke rumah untuk beristirahat. Bila ada tambahan rezeki, Unah masak nasi dan ikan asin, sehingga mereka bisa menyantap makan siang selepas sholat. Sebaliknya, bila tak ada tambahan penghasilan, mereka tetap bersyukur masih bisa makan nasi kendati hanya berlauk garam.

Bahkan, sering mereka tidak makan sama sekali. Sebagai gantinya mereka mengaji di atas dipan beralas tikar yang juga difungsikan sebagai tempat tidur.

Satu-satunya rezeki yang mereka anggap paling sempurna dan mengalahkan rezeki lainnya adalah perlengkapan sholat. Mukena, sajadah, baju koko, dan peci mereka rawat agar dapat digunakan kembali. 

"Itu saja sudah rezeki neng. Emak dan bapak mah enggak apa-apa, yang penting masih bisa sholat. Kadang kalau emak ketiduran atau capek, bapak suka marahin emak karena telat sholat," kata Unah yang ramah ini sambil menepuk-nepuk pundak suaminya.

Kurang dari dua jam

Sarmin dan Unah, bukanlah satu-satunya keluarga yang hidup di gubuk reyot. Menurut National Director Habitat for Humanity, James Tumbuan, ada 500 kepala keluarga yang pantas mendapat bantuan rumah layak huni di lima desa Kecamatan Mauk ini.

"Selain Desa Tanjung Anom, empat lainnya adalah Desa Kedung Dalam, Desa Marga Mulya, Desa Gunung Sari, dan Desa Sasak," ungkap James.

Meskipun hanya berjarak kurang dua jam dari ibu kota Negara Republik Indonesia Jakarta, kata James, namun fakta di lapangan masih terdapat masyarakat yang hidup sangat tidak layak. Baik tidak layak dalam hal pemenuhan papan, maupun sandang dan pangan.

Mudah dipahami jika Sarmin dan Unah sangat antusias dan mengekspresikan kebahagiaannya mendapat bantuan rumah permanen layak huni ukuran 36 meter persegi. Rasa senang mereka membuncah dengan terus menebar senyum dan tepuk tangan gembira tatkala nama mereka disebut-sebut pemandu acara.

"Emak senang. Nanti tidur enggak kebocoran lagi," tandas Unah dengan mata berkaca-kaca seraya tetap tersenyum seolah ingin berbagi kebahagiaan dengan siapa saja yang dijumpainya.

(Kompas.com)

Posting Komentar

 
Top