JAKARTA - Melambatnya pertumbuhan ekonomi dinilai bukan waktu yang tepat untuk menaikan cukai rokok. Pemerintah diminta jangan tergesa-gesa menaikan cukai rokok karena akan menjadi bumerang untuk pemerintah.

"Bila cukai terlalu tinggi, target penerimaan APBN pun tak akan tercapai. Tentu pemerintah jadi rugi," jelas pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga, Bambang Eko Afianto, Rabu (2/9/2015).

Kondisi ini dilihat dari kurang bergairahnya ekonomi Indonesia untuk saat ini. Pada tahun 2014 saja ketika pemerintah tidak menaikkan cukai rokok karena bertepatan dengan pemberlakuan pengenaan pajak rokok daerah 10 perseb, sudah tercatat ada 10.000 tenaga kerja industri rokok yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).

Belum lagi ditambah gulung tikarnya pabrik-pabrik rokok rumahan. "Ini tentu menambah beban ekonomi," lanjutnya.
Imbasnya tak hanya pekerja dan pengusaha industri rokok, tapi juga petani tembakau dan cengkeh yang akan merasakan kerugian ini. 

Menurut Bambang, kenaikan yang wajar untuk cukai dengan kondisi ekonomi saat ini adalah 7 persen. Kalau lebih dari itu sudah membebani banyak orang.

"Industri rokok harus sangat diperhatikan karena industri ini menyumbang signifikan untuk APBN," ujarnya.
Sebelumnya, pemerintah kembali menaikkan target cukai rokok di dalam RABPN 2016 dari sebelumnya Rp139,1 triliun menjadi Rp148,9 triliun di tengah kondisi ekonomi yang sedang mengalami perlambatan.

Kenaikan ini menjerat industri rokok karena mengacu pada base look inflasi dengan hitungan 14 bulan, bukan 12 bulan. Dengan perhitungan ini kenaikan cukai rokok mencapai 23 persen, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang hanya berkisar di antara 7-9 persen.

(Okz/wdi)

Posting Komentar

 
Top