JAKARTA - Rencana penghidupan kembali pasal penghinaan terhadap Presiden, dinilai bertolak belakang dengan semangat revolusi mental.
Ketua Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), Sugeng Teguh Santoso menuturkan, seharusnya seorang pemimpin sudah semestinya mendengarkan keluhan rakyatnya, sekalipun mendapatkan kritikan yang terbilang "pedas"
"Pertama, seorang Presiden adalah merupakan jabatan publik (seorang pemimpin). Ya sewajarnya harus siap dikritik sama siapa pun. Hal ini sesuai dengan semangat demokrasi yang dijunjung tinggi bangsa ini," tutur Sugeng kepada Okezone, Minggu (9/8/2015).
Sugeng menilai, dalam pasal tersebut juga dinilai dapat menghambat hak atas kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan, maupun tulisan dan ekspresi sikap. "Jadi, ini adanya kemunduran (dalam pemahaman sadar hukum)," imbuhnya.
Sebenarnya, jika Presiden Joko Widodo (Jokowi) mau dirinya tak perlu mengajukan kembali atas penghidupan pasal penghinaan, apabila dirinya merasa "dihina" atau merasa keberatan dengan tindakan seseorang baik dalam bentuk aksi demontrasi, maupun pernyataan kurang berkenan, maka ada bisa menggunakan pasal yang mengatur tentang pencemaran nama baik.
"Pasal 310-311 (soal penghinaan pencemaran nama baik terhadap seseorang), yang biasa oleh orang biasa (rakyat), apa bila dirinya merasa dicemarkan nama baiknya. Jadi tidak perlakukan yang istimewa, jadi tidak usah ada pasal itu (penghinaan Presiden)," tutup Sugeng.
Seperti diketahui, pasal penghinaan Presiden dipercaya akan kandas di Mahkamah Konstitusi (MK), sebagaimana ditegaskan oleh Mantan Ketua MK, Mahfud MD, jika pasal itu tetap diajukan kembali, kemudian DPR bisa menilai manfaatnya, dan MK sudah pasti menolaknya, sesuai pada tahun 2006 MK sudah menghapus pasal tersebut dalam KUHP. Bahkan MK juga memerintahkan pemerintah dan DPR untuk menghapus norma dari RUU KUHP.
Adapun pasal yang disodorkan Jokowi melalui Menteri Hukum dan HAM Yasona Laoly, berbunyi 'Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun kurungan penjara atau pidana denda paling banyak kategori IV'.
Ruang lingkup penghinaan Presiden diperluas melalui RUU KUHP pasal 264. Menegaskan "Setiap orang yang menyiarkan mempertunjukan atau menempel tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh hukum, yang berisikan penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana denga pidana paling lama lima tahun arau denda paling banyak katagori IV.
(Okz/raw)

Posting Komentar

 
Top