Geel, sebuah kota di Belgia punya ciri khas yang unik. Kota ini sering disebut rumah bagi para pasien sakit jiwa selama beratus-ratus tahun.
Selama itu pula mereka yang punya masalah kejiwaan diterima di rumah-rumah penduduk dengan tangan terbuka. Ya, Geel memang punya model perawatan psikoatis yang unik sejak abad ke-14.
“Bisa dikatakan separuh dari pendudul Geel adalah orang gila dan separuhnya lagi 'separuh gila',” demikian candaan yang sering diberikan pada penduduk kota itu atas keterbukaannya menerima pasien dengan masalah mental itu.
Dari luar Geel tampak layaknya kota indah lainnya. Ada jajaran pertokoan yang cantik, pemandangan sungai, belum lagi pedesaaan khas Antwerp.
Namun terlepas dari itu semua, pendatang mungkin akan segera menemukan ada hal yang eksentrik tentang kota ini dengan alasan yang baik. Geel berisi para pasien masalah mental yang tidak ‘dikurung’ di dalam rumah sakit. Tapi mereka tersebar di rumah-rumah keluarga.
Ini memang model perawatan yang unik yang telah berlangsung selama beberapa abad. Para pasien ini memang punya kebebasan apakah ingin tinggal di rumah sakit atau rumah-rumah warga.
Mike Jay, seorang penulis buku dan ahli sejarah budaya datang ke Geel untum menggali fenomena ini. Kepada Independent, Jay mengatakan memang persepsi ‘kegilaan’ yang biasa kita kenal tak ada di kota Geel.
“Orang-orang Geel dengan pemahaman yang baik sangat menghindari kata-kata seperti itu, yang menurut saya sangat layak dihargai,” kata Jay
“Mereka cenderung menyebut pasien sebagai ‘tamu’ atau ‘boarder’ yang ‘berbeda’ atau ‘spesial’.”
Biasanya para tamu setelah menandatangani kontrak dengan otoritas kesehatan setempat, mereka bisa tinggal dengan keluarga setempat yang mendapatkan upah untuk menjadi bagian dari keseharian si pasien.
Tak hanya mereka dengan gangguan kejiwaan yang berat seperti psikosis dan schizophrenia, orang-orang dengan kesulitan belajar juga diterima. Bahkan juga mereka yang tidak memiliki diagnosis penyakit sama sekali.
Pasien dibebaskan untuk datang dan pergi sesuka hati di rumah-rumah penduduk. Semua perilaku ‘tak biasa’ diterima dengan wajar, dan bukannya langsung buru-buru ditangani sebagai sebuah gejala atau dicarikan obatnya.
“Jalan-jalan dipenuni dengan kafe dengan orang-orang yang memang terlihat berbeda, tapi dalam sekejap Anda tak akan terlalu memperhatikannya lagi,” kata Jay.
“Mereka terlihat wajar berada dalam lingkungan ini, dan tidak terlalu terlihat sebagai populasi yang berbeda. Ini merupakan sesuatu yang sangat luar biasa.”
Sistem yang berlaku di Geel ini, bermula bersamaan dengan dengan yang dilakukan di rumah sakit jiwa yang sangat terkenal, Bethlem Royal yang dikenal dengan nama Bedlam.
Geel sangat populer dengan model perawatan psikiatrisnya sejak abad ke 14. Sejak apa yang dilakukan Geel, orang juga jadi lebih terbuka dan menerima pasien gangguan mental hingga mereka bisa dengan mudah ditemukan di banyak tempat.
Di Geel tak ada orang yang memandang aneh orang yang tiba-tiba bicara sendiri, atau muncul di jalan-jalan dengan penampilan yang eksentrik.
“Yang biasanya terjadi saat melihat orang demikian yang berbeda, orang akan memberi respon sedikit takut, sedikit aneh, karena mereka tak tahu bagaimana menangani hal itu,” kata Jay.
“Tapi jika orang bersikap terbuka, banyak masalah yang kita terima akan lebur begitu saja.”
“Banyak kelompok masyarakat yang melihat orang-orang ini sebagai bahaya, padahal mereka ini lebih sebagai korban kekerasan bukan penyebab kekerasan itu sendiri.”
Pasien bergaul dengan anak-anak Geel
Jay percaya bahwa meski persepsi terhadap pasien gangguan jiwa kini membaik, masalah kesehatan mental masih dilihat dari kacamata kriminal dalam hal risikonya.
Namun hal itu tak terlihat di Geel. Para boarder bisa berhubungan dengan anak-anak dan itu dianggap sebagai sesuatu yang penting. “Ini semacam hubungan saling belajar di kedua pihak. Tampaknya dianggap baik membiarkan anak-anak tumbuh bersama boarder,” kata Jay.
“Saat saya tinggal disana, mereka mengatakan banyak psikiatris Amerika yang berusaha keras memahami ide ini. Mereka mengatakan, ‘Apa? Kalian membiarkan para pasien ini dekat anak-anak kalian’?”
Banyak tamu yang memandang praktek ‘pasien sebagai tamu’ ini sebagai bagian dari terapi. Namun sebenarnya pemerintah kota sudah menyediakan psikiatris selama berabad-abad untuk mensukseskan penanganan masalah mental itu.
Hanya saja sembari mengizinkan orang untuk tinggal dengan kondisi mereka dalam lingkungan yang penuh kasih sayang tanpa dikucilkan dari masyarakat saat ditangani sebagai pasien.
Kisah Santa Dymphna
Sejarah Geel sendiri bisa ditarik hingga kemunculan kisah seorang martir yang kemudian disebut sebagai Santa Dymphna. Dia adalah putri legendaris asal Irlandia yang memiliki seorang ayah penganut pagan.
Suatu kali ayah sang putri jadi gila karena duka cita dan meminta anaknya sendiri untuk menikah dengannya.
Untuk menyelamatkan diri dari nafsu ayahnya, Dymphna lari ke Flanders, namun ayahnya berhasil melacaknya. Dymphna kemudian mati dipenggal di Geel oleh ayahnya sendiri, ketika sang putri tetap menolak permintaan ayahnya.
Dymphna diangkat menjadi Santa dengan kekuatan menyembuhkan masalah mental. Dia dibuatkan semacam kuil di makamnya yang kemudian diubah menjadi gereka pada tahun 1349.
Sebuah asrama ditambahkan pada lokasi itu ketika ada ledakan pengunjung pada tahun 1480. Namun itupun kemudian terisi penuh hingga melampaui kapasitasnya.
Sejak saat itulah warga mulai membuka pintu rumahnya, lahan pertanian dan istal kudanya untuk tempat menginap pasien. Jumlah pengunjung semakin besar namun praktek penuh kasih sayang pada pasien itu tetap dijalankan.
Sepanjang masa Renaissance, tempat ini jadi tujuan keluarga yang ingin menitipkan anggotanya yang bermasalah. Di antara pasien saat itu ada pangeran dari Polandia yang menjadi salah satuboarder-nya.
Saat itu ketakutan akan penanganan ala ‘lunatic asylums’ atau rumah gila di tempat lain membuat Geel semakin populer.
Tapi dibanding masa Renaissance, kini jumlah boarder di Geel jauh berkurang.
“Dulu mungkin ada tiga sampai empat ribu boarder dan kini kira-kira tinggal tiga ratus boarder saja yang tinggal di Geel,” kata Jay.
“Sebagian besar karena perubahan gaya hidup — dulu masyarakat asli yang menerima boarderbekerja sebagai petani bersama istri dan anak mereka di sekitar rumah. Tapi kini orang banyak yang bekerja dan sekolah jauh dari rumah.”
(cnnindoneisa/utw/utw)
Hanya saja sembari mengizinkan orang untuk tinggal dengan kondisi mereka dalam lingkungan yang penuh kasih sayang tanpa dikucilkan dari masyarakat saat ditangani sebagai pasien.
Kisah Santa Dymphna
Sejarah Geel sendiri bisa ditarik hingga kemunculan kisah seorang martir yang kemudian disebut sebagai Santa Dymphna. Dia adalah putri legendaris asal Irlandia yang memiliki seorang ayah penganut pagan.
Suatu kali ayah sang putri jadi gila karena duka cita dan meminta anaknya sendiri untuk menikah dengannya.
Untuk menyelamatkan diri dari nafsu ayahnya, Dymphna lari ke Flanders, namun ayahnya berhasil melacaknya. Dymphna kemudian mati dipenggal di Geel oleh ayahnya sendiri, ketika sang putri tetap menolak permintaan ayahnya.
Dymphna diangkat menjadi Santa dengan kekuatan menyembuhkan masalah mental. Dia dibuatkan semacam kuil di makamnya yang kemudian diubah menjadi gereka pada tahun 1349.
Sebuah asrama ditambahkan pada lokasi itu ketika ada ledakan pengunjung pada tahun 1480. Namun itupun kemudian terisi penuh hingga melampaui kapasitasnya.
Sejak saat itulah warga mulai membuka pintu rumahnya, lahan pertanian dan istal kudanya untuk tempat menginap pasien. Jumlah pengunjung semakin besar namun praktek penuh kasih sayang pada pasien itu tetap dijalankan.
Sepanjang masa Renaissance, tempat ini jadi tujuan keluarga yang ingin menitipkan anggotanya yang bermasalah. Di antara pasien saat itu ada pangeran dari Polandia yang menjadi salah satuboarder-nya.
Saat itu ketakutan akan penanganan ala ‘lunatic asylums’ atau rumah gila di tempat lain membuat Geel semakin populer.
Tapi dibanding masa Renaissance, kini jumlah boarder di Geel jauh berkurang.
“Dulu mungkin ada tiga sampai empat ribu boarder dan kini kira-kira tinggal tiga ratus boarder saja yang tinggal di Geel,” kata Jay.
“Sebagian besar karena perubahan gaya hidup — dulu masyarakat asli yang menerima boarderbekerja sebagai petani bersama istri dan anak mereka di sekitar rumah. Tapi kini orang banyak yang bekerja dan sekolah jauh dari rumah.”
(cnnindoneisa/utw/utw)
Posting Komentar