SUASANA mencekam di sekitar Hotel Yamato (kini Hotel Majapahit) kala timbul peristiwa perobekan bendera atau “Het Vlag Incident”, 19 September 1945, sungguh berbeda ketika seorang perwira Koninklijke Marine (AL Belanda), Kapitan P.J.G. Huiyer datang ke tempat yang sama empat hari kemudian.
Ya, seperti dikutip dari buku ‘Sejarah Daerah Jawa Timur’, 23 September 1945 atau tujuh dekade silam, Huiyer datang ke Belanda dengan pesawat pengangkut sekutu, atas utusan Komandan AL Belanda, Laksamana Helfrich, lewat perintah resmi komandan sekutu, Laksamana Patterson.
Misi resminya tak lain adalah misi Rehabilitation Allied Prisoners of War and Internees (RAPWI), sekaligus mengemban “misi tambahan” untuk melihat situasi Surabaya, jelang kedatangan sekutu.
Sesampainya di Hotel Yamato, Huiyer memanggil dua perwira Jepang, Jenderal Iwabe dan Laksamana Shibata untuk membahas soal Pelabuhan Tanjung Perak. Dia meminta keduanya untuk bisa menjaga ketertiban hingga sekutu mengambil alih pengawasan kota.
Huiyer juga melihat sejumlah kondisi di kota untuk kemudian dilaporkan kepada Patterson, bahwa tak terlihat tanda-tanda warga sipil bakal berontak pada Jepang. Sebuah informasi yang kelak menyesatkan sekutu.
Huiyer pun kembali ke Jakarta setelah sempat transit di Balikpapan. 29 September 1945, dia kembali ke Surabaya dan mendapati situasi dan kondisi yang sangat berbeda dari yang dia lihat sebelumnya.
Beberapa insiden yang terjadi antara dia sendiri maupun orang Belanda lainnya, berulang kali jadi bahan protes kepada Residen (Wali Kota) Surabaya, Sudirman.
Sementara di lain pihak, "misi" Huiyer di Surabaya kian kentara bahwa perintah resmi RAPWI yang dibawanya hanya kedok NICA (Nederlandsch Indië Civil Administratie) untuk menguasai Surabaya lagi.
Pada 7 Oktober, situasi sudah tak memungkinkannya bertahan di Surabaya. Dia hendak kabur ke Jakarta yang sialnya tak ada pesawat untuk membawanya ke Jakarta. Pilihan kereta api baru bisa didapatnya dua hari kemudian.
Tapi ketika baru sampai di Kertosono, kereta ditahan para pemuda. Huiyer sempat berusaha menyamar sebagai orang Inggris, tapi ketahuan gara-gara tak sengaja mengeluarkan kata umpatan ‘God Verdomme’.
Huiyer sempat diinterogasi di Jombang dan kemudian, dibawa kembali ke Surabaya untuk dilucuti senjatanya di Kantor Polisi. Kepala Polisi setempat memilih mengamankannya ke Gedung bekas Konsulat Inggris demi mencegah amukan rakyat.
Tapi kemudian Huiyer tetap diseret ke Penjara Kalisosok pada 16 Oktober. Huiyer sendiri baru dibebaskan tentara Inggris yang menyerbu ke Penjara Kalisosok pada 26 Oktober 1945.
Namun di sisi lain, informasi lebih dini dari Huiyer soal Kota Surabaya yang sudah dikuasai pejuang pun tak sampai ke telinga para perwira sekutu. Sejumlah insiden berikutnya dengan sekutu pun pecah hingga klimaksnya pertempuran besar 10 November.
18 hari lamanya pasukan Inggris menghadapi perlawanan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan laskar-laskar rakyat yang merepotkan, hingga pihak Inggris menyebut kota itu sebagai Surabaya Inferno atau Neraka Surabaya. Kota Surabaya baru bisa dikuasai sepenuhnya pada 28 November 1945, pasca-kubu terakhir laskar rakyat di Gunungsari dihancurkan.
Posting Komentar