Jakarta, CNN
Sejumlah lembaga swadaya masyarakat mendesak pemerintah Jokowi untuk menghukum pelaku di balik penyebab bencana lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Mereka sangat menyayangkan ketidaktegasan sikap pemerintah padahal kasus Lapindo telah genap berusia sembilan tahun.
LSM yang mendorong pemerintah mengambil sikap tersebut antara lain Jaringan Advokasi Tambang, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Konsorsium Pembaruan Agraria, dan Indonesia Human Rights Committee for Social Justice.
"Dalam kasus lumpur Lapindo, negara seharusnya hadir sebagai representasi kedaulatan rakyat. Namun sampai sekarang belum ada bentuk kehadiran negara dalam kasus itu," kata aktivis Jaringan Advokasi Tambang Ki Bagus Hadi Kusuma di kantor KontraS, Jakarta, Kamis (28/5).
Bagus juga menyoroti kasus pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi pada bencana lumpur Lapindo. Ia mencatat ada 10 anak yang meninggal karena jatuh di lokasi lumpur yang merupakan tempat bekas pertambangan tersebut. "Anak kesepuluh jatuh beberapa hari lalu," kata dia.
Ia pun menyayangkan keputusan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang malah memberikan bantuan dana talangan bagi Lapindo sebesar Rp 781 miliar. (Baca juga: Menkeu Tegaskan Dana Lapindo Rp 781 Miliar Bukan Bailout)
Manajer Kampanye Walhi Edo Rakhman juga mendesak Presiden Jokowi untuk segera menyelesaikan kejahatan korporasi pertambangan lainnya. Jokowi juga diminta memperhatikan kondisi lingkungan sebelum mengizinkan aktivitas pertambangan.
"Perlu diingat bahwa kondisi lingkungan kita sudah tidak mampu lagi dijadikan lokasi pertambangan. Apalagi kondisi ekonomi masyarakat lokal di sekitar lokasi pertambangan tidak kunjung membaik," kata Edo.
Berdasarkan temuan Komisi Pemberantasan Korupsi, dari 10.857 izin pertambangan di Indonesia, sebanyak 4.868 izin dinyatakan bermasalah, di mana sebagian di antaranya tidak menyetorkan pajak dan royalti. KPK juga menyampaikan potensi kerugian negara dari sektor mineral dan batu bara ini mencapai sekitar Rp 6,77 triliun setiap tahunnya.
Sampai saat ini ada dua argumentasi yang dianggap menjadi biang keladi terjadinya semburan lumpur Lapindo. Pertama, anggapan bahwa luberan lumpur merupakan bencana alam yang terpengaruh peristiwa gempa 5,9 Skala Richter yang terjadi di Yogyakarta, 26 Mei 2006.
Kedua, pendapat bahwa lumpur yang memadati area di Sidoarjo itu disebabkan eksplorasi pengeboran gas yang dilakukan Lapindo Brantas. Pendapat ini paling mengemuka dalam sebuah konferensi internasional yang dihelat di Afrika Selatan, 26-29 Oktober 2008.
Konferensi yang dihadiri ahli geologi dari seluruh dunia itu menghasilkan empat kesimpulan: tiga ahli geologi mendukung gempa Yogyakarta sebagai penyebab semburan lumpur; 42 ahli menyatakan pengeboran Lapindo yang menjadi biang keladi luapan lumpur; 13 ahli menyebut kombinasi gempa Yogyakarta dan pengeboran; dan 16 ahli lainnya menyatakan tak beropini.
(pit/agk)
Sumber: Indonesia.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar